GARUT – Tak disangka, kematian di negeri ini kini hadir dengan wajah yang lebih memilukan. Kali ini bukan karena perang, bukan pula karena bencana. Tapi karena berebut makanan gratis dalam pesta rakyat. Tiga nyawa melayang dalam hajatan pernikahan mewah yang seharusnya menjadi simbol kegembiraan dan kemakmuran, justru berubah menjadi arena maut yang menyayat nurani.
Peristiwa mengenaskan ini terjadi di Pendopo Kabupaten Garut pada Jumat, 18 Juli 2025, dalam rangkaian pesta rakyat menyambut pernikahan anak Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, Maula Akbar Mulyadi Putra, dengan Wakil Bupati Garut, Luthfianisa Putri Karlina. Ribuan warga memadati area pendopo untuk mendapatkan makanan gratis yang dibagikan sebagai bentuk “syukuran”. Namun, alih-alih merasakan kegembiraan, kerumunan berubah menjadi kekacauan. Titik pembagian yang minim, sistem pengamanan yang amburadul, dan ketidaksiapan panitia menelan korban jiwa. Dua warga sipil dan satu anggota polisi tewas dalam tragedi tersebut.
Ini bukan pertama kalinya rakyat Indonesia meregang nyawa karena berebut sesuatu yang sifatnya kebutuhan pokok. Tapi kematian dalam konteks pesta pernikahan pejabat tinggi daerah adalah babak baru dari nomenklatur mengenaskan yang dicatat sejarah. Biasanya tragedi semacam ini terjadi saat pembagian sembako, daging qurban, atau saat kapal tenggelam karena kelebihan muatan. Kini, rakyat mati hanya untuk sepiring nasi di tengah hingar bingar pesta kekuasaan.
Peristiwa ini bukan hanya tragedi sosial, tapi juga tamparan keras bagi seluruh pejabat publik yang selama ini memamerkan kemurahan hati dengan cara-cara kuno yang mengundang petaka. Di tengah angka kemiskinan yang terus membelit dan krisis ekonomi yang menghantui, rakyat seolah dipaksa mengantre maut demi sesuap nasi. Di mana peran protokoler? Di mana tanggung jawab kepolisian? Dan yang terpenting: di mana nurani para pemilik hajat?
Izin keramaian yang biasanya diurus melalui kepolisian menjadi formalitas belaka. Tidak ada pengawasan ketat, tidak ada simulasi darurat, tidak ada evaluasi risiko. Padahal, setiap tahun tragedi serupa terjadi. Tapi penguasa seolah abai. Apakah nyawa rakyat tak lebih penting dari pesta dan pencitraan?
Apakah benar rakyat negeri ini sudah sedemikian miskin hingga rela bertaruh nyawa demi mengganjal perut yang lapar? Apakah benar di balik setiap musik dangdut dan tenda pesta pejabat, ada rakyat yang meringkuk menahan lapar? Kematian di Garut ini bukan hanya akibat kesalahan teknis, tapi akibat dari sistem yang menormalisasi kemiskinan dan menjadikan empati sebagai panggung politik.
Pemerintah pusat maupun daerah tak bisa lepas tangan. Ini bukan sekadar kecelakaan. Ini adalah akibat langsung dari gagalnya pengelolaan keramaian, gagalnya memahami kondisi sosial, dan gagalnya menyadari bahwa kemiskinan bukan sekadar angka statistik.
Tragedi ini harus menjadi yang terakhir. Tidak boleh lagi rakyat Indonesia mati hanya karena ingin makan. Jangan lagi pesta kekuasaan disulap menjadi peristiwa duka nasional. Jika negara tak segera berbenah, jangan salahkan rakyat jika kelak kehilangan kepercayaan pada semua bentuk kemewahan yang diperlihatkan dari atas panggung. Sebab bagi mereka yang hidup dari sisa-sisa nasi bungkus, keadilan sosial bukan hanya slogan, tapi soal hidup dan mati. (*)