Garut – Pesta pernikahan putra sulung Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Wakil Bupati Garut Putri Karlina berubah menjadi tragedi. Tiga orang tewas dan puluhan lainnya mengalami sesak napas dalam insiden kerumunan di Pendopo Garut, Jumat malam, 18 Juli 2025. Dua hari setelah kejadian itu, pasangan pengantin Maula Akbar dan Putri Karlina akhirnya angkat bicara.
Dalam konferensi pers yang digelar di rumah dinas Wakil Bupati Garut, Sabtu, 19 Juli 2025, Maula dan Putri menyampaikan permohonan maaf kepada publik dan keluarga korban. “Berat rasanya melihat sesuatu seperti ini terjadi. Kami sangat terpukul,” kata Maula dengan nada sedih.
Putri, yang juga menjabat Wakil Bupati Garut, mengakui bahwa insiden tersebut mencoreng momen bahagia mereka. “Dari lubuk hati paling dalam, saya menghaturkan permohonan maaf atas musibah yang terjadi, tepat dua hari setelah hari yang saya tandai sebagai hari paling bahagia,” ucapnya.
Namun, di tengah duka itu, muncul kontroversi soal dugaan adanya acara makan gratis yang memicu kerumunan besar. Ribuan orang disebut mendatangi Pendopo Garut karena mendengar kabar bahwa akan ada pembagian makanan dalam pesta rakyat.
Maula membantah hal tersebut. Ia menegaskan tidak pernah ada agenda resmi makan gratis. Menurutnya, makanan yang tersisa hanya dibagikan secara spontan kepada warga yang datang menonton hiburan malam. “Kami masih punya banyak makanan. Daripada tidak termakan, silakan dibagikan saja,” ujarnya.
Putri pun menekankan hal serupa. Ia menyebut satu-satunya acara yang dijadwalkan pada malam itu hanyalah hiburan rakyat dan stan UMKM yang diberi nama Balakecrakan. “Balakecrakan itu bukan makan gratis,” katanya tegas.
Pasangan ini juga mengaku bingung dari mana asal informasi soal pembagian konsumsi massal. Putri menduga rumor tersebut berasal dari kebocoran notulensi rapat Pemkab Garut yang kemudian tersebar di masyarakat. “Saya baru tahu ada notulensi itu. Sejak awal kami sudah berhati-hati menyebarkan informasi,” ujarnya.
Mereka juga membantah perintah penutupan dua gerbang utama Pendopo. Maula menjelaskan bahwa hanya gerbang dalam yang ditutup karena ada persiapan resepsi kedua. “Gerbang luar tidak kami tutup. Warga bebas keluar masuk,” katanya.
Meski demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kerumunan membludak. Banyak yang berdesakan di area terbatas. Situasi tidak terkendali. Tiga nyawa melayang, puluhan orang jatuh sakit.
Maula dan Putri menyatakan siap bertanggung jawab dan mengikuti semua proses hukum yang berlangsung. Mereka juga telah memberikan santunan kepada keluarga korban, masing-masing sebesar Rp250 juta.
Namun publik tak puas dengan permintaan maaf dan uang santunan. Pertanyaan terus bergema: bagaimana acara pejabat daerah, di lokasi pemerintahan, bisa berlangsung tanpa antisipasi risiko kerumunan? Siapa yang mengizinkan, siapa yang lalai, dan siapa yang benar-benar bertanggung jawab?
Tiga nyawa melayang dalam pesta mewah keluarga pejabat. Bagi banyak orang, ini bukan sekadar musibah—ini adalah potret nyata betapa kekuasaan sering kali buta akan keselamatan rakyat. (*)